Ilmuwan Indonesia Tewas Dipenggal di Ancol Karena Permalukan Peneliti Jepang

Indonesia adalah tanah yang kaya akan sejarah dan tokoh-tokoh berpengaruh yang telah menorehkan namanya dalam lingkup global. Di antara mereka, Profesor Achmad Mochtar merupakan ilmuwan medis yang pernah berada di puncak kejayaannya, namun, kisahnya berakhir tragis ketika terjerat dalam kekuasaan penjajah Jepang. Kehidupan dan kontribusinya dalam dunia ilmu pengetahuan patut dicermati sebagai pengingat pentingnya integritas ilmiah.

Mochtar dikenal atas keberaniannya dalam menentang pandangan dominan para ilmuwan Jepang, khususnya Noguchi Hideyo, yang merupakan pemuka dalam penelitian medis. Namun, prestasinya yang gemilang justru membuatnya menjadi target pembunuhan, menciptakan tanya di hati banyak orang mengenai kebenaran di balik kematiannya.

Peristiwa yang menentukan nasib Mochtar dimulai pada 7 Oktober 1944 ketika ia dijemput oleh polisi militer Jepang. Tuduhan pencemaran nama baik terhadap dirinya dan lembagaan yang dipimpinnya menegaskan betapa mudahnya kekuasaan memanfaatkan individu demi kepentingan politik dan militer.

Gambaran Awal Tentang Achmad Mochtar dan Kontribusinya dalam Dunia Medis Achmad Mochtar lahir di Indonesia dan mengembangkan minat yang besar terhadap ilmu pengetahuan sejak dini. Ia menempuh pendidikan tinggi di berbagai universitas terkemuka dan menciptakan fondasi yang kuat dalam penelitian medis. Dalam kariernya, ia terkenal karena ketekunannya dan integritasnya dalam menjalankan tugasnya sebagai ilmuwan.

Di bawah kepemimpinan Mochtar, Eijkman Instituut menjadi salah satu lembaga penelitian medis yang berpengaruh di Asia. Penelitian-penelitiannya berkisar dari epidemiologi hingga vaksinasi, dan hasil-hasilnya sering kali menawarkan terobosan baru yang penting bagi dunia kesehatan. Keberhasilannya menarik perhatian internasional dan membuatnya diakui sebagai pakar dalam bidangnya.

Namun, perjalanannya yang menjanjikan terhenti ketika Jepang mulai menduduki Indonesia. Tindakan intervensi oleh pihak Jepang menjadi titik balik yang mengubah sejarah karirnya. Pada masa itu, segala sesuatu menjadi rentan terhadap manipulasi politik, dan Mochtar pun terkena dampaknya.

Penyebab Penangkapan dan Interogasi yang Brutal Pada hari penangkapannya, ratusan pekerja romusha dilaporkan tewas setelah mendapatkan suntikan vaksin. Jepang dengan cepat mencari scapegoat atau kambing hitam untuk menyelamatkan citra mereka. Mochtar, yang merupakan direktur Eijkman Instituut, dijadikan sasaran tuduhan tanpa ada bukti yang kuat.

Penahanannya di Kempetai menandai dimulainya penderitaan yang tidak terbayangkan. Di dalam penjara, ia mengalami interogasi brutal, bersama dengan ilmuwan lainnya yang juga dituduh terlibat dalam insiden tersebut. Suara raungan kesakitan terdengar mengguncang jiwa dari dalam tembok penjara tersebut.

Dengan kondisi fisik dan mental yang semakin terpuruk, Mochtar tetap berpegang pada prinsipnya. Nasibnya berakhir tragis pada 3 Juli 1945, ketika ia menghadapi eksekusi mati. Keberaniannya menuntut kebenaran berakhir dengan pengorbanan yang sangat menyedihkan.

Ketersingkiran dari Sejarah: Konsekuensi yang Dialami Setelah Kematian Setelah tragedi yang menimpa Mochtar, kebenaran mulai terungkap beberapa tahun kemudian. Terbukti bahwa tidak ada keterlibatan Mochtar atau institusi yang dipimpinnya dalam kematian romusha tersebut. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sangkot Marzuki dan Kevin Baird, Jepang terbukti menggunakan Mochtar sebagai alat untuk menutupi kesalahan ilmuwan mereka sendiri.

Penangkapan dan eksekusi Mochtar juga dianggap sebagai bentuk balas dendam bersejarah dari Jepang. Sejak saat itu, penelitian yang dilakukan Mochtar mengalami pencemaran nama baik, dan kontribusinya pada dunia sains tak mendapatkan pengakuan yang seharusnya. Mirisnya, dalam catatan sejarah, ia lebih diingat sebagai korban zalim daripada ilmuwan brilian.

Bahkan pada saat itu, banyak yang meragukan motivasi di balik tindakan Jepang terhadap Mochtar. Mereka percaya bahwa dendam lama dari penolakan Mochtar terhadap penelitian Noguchi Hideyo, yang pernah mengklaim penemuan penting, berkontribusi pada keputusannya untuk mengambil nyawa Mochtar.

Warisan yang Ditinggalkan dan Refleksi Sejarah Walaupun nama Mochtar tidak sepopuler ilmuwan Jepang, ia memiliki legacy yang kuat yang kembali dikenang dalam masyarakat. Nasionalisme dan semangatnya untuk mencari kebenaran akan selalu diingat, meninggalkan jejak yang tak terlupakan dalam sejarah ilmuwan Indonesia.

Di sisi lain, Noguchi Hideyo, yang seharusnya menjadi pelajaran bagi banyak orang, masih dihormati di negara asalnya. Hal ini mencerminkan bagaimana suatu bangsa dapat mengagungkan pahlawannya, sementara yang lain terlupakan meski berkontribusi lebih besar daripada yang mungkin dipahami banyak orang.

Pengorbanan yang dilakukan Mochtar tidak boleh terabaikan. Sungguh penting bagi generasi mendatang untuk memahami bahwa setiap ilmuwan, terutama mereka yang berjuang untuk kebenaran, layak mendapatkan pengakuan yang semestinya, terlepas dari akibatnya.