Belajar dari Soeharto, Prabowo Capai Swasembada Beras dalam Setahun

Dalam satu tahun pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, pencapaian penting yang segera terwujud adalah swasembada pangan, utamanya beras. Di bawah pimpinan Menteri Pertanian Amran Sulaiman, pemerintah mengklaim telah berhasil mengurangi ketergantungan pada impor dan meningkatkan produksi padi nasional pada tahun 2025.

Keberhasilan ini mengingatkan kita akan masa kejayaan swasembada beras di era Presiden Soeharto antara tahun 1984 hingga 1988. Pada saat itu, Indonesia yang dulunya merupakan negara pengimpor beras terbesar, berhasil bertransformasi menjadi negara mandiri dalam penyediaan konsumsi berasnya sendiri.

Tentunya, pencapaian luar biasa ini membawa perubahan signifikan bagi masyarakat dan perekonomian Indonesia. Bahkan, pada saat itu Indonesia mendapat pengakuan resmi dari FAO sebagai negara yang berhasil mengatasi krisis pangan.

Pencapaian Swasembada Beras di Era Soeharto dan Tantangan yang Dihadapi Ketika Soeharto memulai masa pemerintahannya, masalah pangan menjadi tantangan yang krusial. Selama dekade 1970-an, Indonesia menghadapi lonjakan harga bahan pokok dan kegagalan panen yang memprihatinkan. Ironisnya, sebagai negara agraris, Indonesia terpaksa mengimpor beras dalam jumlah besar untuk memenuhi kebutuhan nasional.

Informasi dari media menunjukkan bahwa pada tahun 1977, Indonesia mengimpor hampir seperempat dari total ekspor beras dunia, sekitar 2 juta ton. Kondisi ini menunjukkan betapa parahnya krisis pangan yang dihadapi saat itu.

Meski Bank Dunia memprediksi Indonesia akan terus bergantung pada impor beras dalam satu dekade ke depan, kenyataannya membuktikan sebaliknya. Memasuki tahun 1980-an, kondisi pangan di Indonesia mulai membaik berkat serangkaian kebijakan pemerintah yang tepat.

Pemerintah Orde Baru mulai fokus pada peningkatan produksi beras melalui berbagai program, termasuk perbaikan irigasi, penggunaan bibit unggul, serta penyediaan pupuk bersubsidi. Dengan strategi ini, Indonesia akhirnya mencapai swasembada beras pada tahun 1984, yang merupakan tonggak sejarah penting bagi bangsa.

Keberhasilan ini pun mengundang perhatian internasional, di mana Soeharto diundang oleh FAO untuk berbagi kisah sukses ini di hadapan banyak negara. Ia menegaskan bahwa pencapaian ini merupakan hasil kerjasama seluruh elemen masyarakat Indonesia, bukan hanya kerja keras pemerintah semata.

Respon Global Terkait Keberhasilan Swasembada Beras Pada momen ini, sebagai bentuk solidaritas, Soeharto turut menyerahkan bantuan sebanyak 100.000 ton beras untuk para korban kelaparan di Afrika. Beberapa tahun kemudian, FAO memberikan penghargaan berupa medali emas kepada Soeharto sebagai pengakuan akan keberhasilannya dalam mengubah Indonesia dari negara pengimpor beras menjadi mandiri.

Medali ini menjadi simbol penghargaan dan pengakuan dunia atas kesuksesan Indonesia di bidang pertanian, khususnya dalam hal swasembada beras. Menteri Pertanian saat itu, Ahmad Affandi, menyatakan bahwa medali ini mencerminkan usaha kolektif masyarakat Indonesia dalam sektor pertanian.

Namun, riset menunjukkan bahwa walaupun Indonesia dinyatakan swasembada, keran impor beras tidak sepenuhnya ditutup. Pada tahun-tahun tertentu, Indonesia masih melakukan impor dalam jumlah kecil untuk menstabilkan harga dan pasokan, mengingat produksi beras domestik dan konsumsi belum sepenuhnya seimbang.

Kondisi penyimpangan ini menunjukkan bahwa meskipun Indonesia telah mencapai swasembada, tantangan yang dihadapi tetap kompleks. Komitmen pemerintah untuk menjalankan kebijakan pangan yang berkelanjutan tetap menjadi prioritas demi kesejahteraan masyarakat.

Perubahan Kebijakan dan Dampaknya Terhadap Sektor Pangan Sayangnya, kejayaan swasembada beras di era Soeharto tidak berlangsung lama. Memasuki akhir dekade 1980-an, Indonesia kembali membuka keran impor beras secara signifikan. Beberapa faktor menyebabkan perubahan ini, termasuk pergeseran kebijakan dari sektor pertanian ke industri.

Berdasarkan analisis dari berbagai sumber, kebijakan industrialisasi mulai menurunkan perhatian terhadap sektor pangan. Lahan pertanian beralih fungsi menjadi lahan industri, dan fokus investasi berpindah, sehingga sektor pertanian terabaikan.

Pemerintah saat itu beranggapan bahwa pengembangan industri lebih menjanjikan secara ekonomi, sementara kebutuhan beras bisa dipenuhi melalui impor. Pendekatan ini membuat sektor pertanian dalam beberapa dekade berikutnya mengalami stagnasi.

Hari ini, tantangan akibat kebijakan yang kurang berpihak pada sektor pertanian ini masih terasa. Upaya untuk membangkitkan kembali kemandirian pangan menjadi tugas berat bagi pemerintah yang ada saat ini.

Sebagai negara agraris, penting bagi Indonesia untuk tidak hanya memahami pentingnya swasembada pangan, tetapi juga untuk mendorong kebijakan yang mendukung keberlanjutan serta kemandirian dalam menyediakan pangan bagi rakyatnya.