Gemuruh Awal Petaka Hantam Jakarta Sebanyak 34000 Orang Tewas

Indonesia terletak di jalur pergerakan lempeng bumi, yang membuatnya rentan terhadap berbagai aktivitas geologis, termasuk gempa bumi. Khususnya wilayah Jakarta, yang merupakan episentrum dari banyak peristiwa bencana, harus semakin waspada dalam menghadapi ancaman ini.

Seiring dengan kemajuan teknologi, prediksi yang akurat mengenai munculnya gempa bumi dan letusan vulkanik masih menjadi tantangan besar. Oleh karena itu, memahami mitigasi bencana dan mengenali tanda-tanda awal sangat penting untuk melindungi diri dan properti, seperti suara gemuruh yang sering menjadi pertanda akan terjadinya guncangan.

Menelusuri kembali ke masa lalu, tepatnya pada Sabtu, 22 Januari 1780, masyarakat Batavia, kini Jakarta, mengalami guncangan yang sangat mengkhawatirkan. Hari itu, mereka menjalani rutinitas seperti biasanya, tidak ada tanda-tanda bahwa bencana besar akan melanda.

Mendekati pukul 14.39, suara gemuruh hebat tiba-tiba menggema. Warga yang penasaran awalnya mengira suara tersebut berasal dari gerobak yang lewat. Namun, suara itu sangat tidak biasa dan tak kunjung reda, hingga tanah mulai bergetar secara hebat.

Ahli geologi Jerman, Arthur Wichmann, dalam catatannya, menggambarkan bahwa saat itu terdapat getaran gelombang dengan arah Timur-Barat. Dalam hitungan detik, bangunan-bangunan mulai goyang dan masyarakat pun berlarian mencari perlindungan. Ketika guncangan mereda pada 14.42, bencana baru saja dimulai dengan dentuman dari Gunung Salak yang mengikutinya.

Pemicu Tragis dari Gempa Jakarta pada 1780 Catatan sejarah dari beberapa bulan setelah peristiwa tersebut menunjukkan bahwa banyak bangunan di Jakarta yang runtuh, dengan laporan menyebutkan 27 bangunan hancur dalam waktu singkat. Kerugian jiwa menjadi catatan yang sulit dipastikan, tetapi banyak korban berjatuhan, termasuk seorang bayi yang tertimpa reruntuhan dan beruntung selamat.

Kerusakan yang ditimbulkan tak hanya terbatas di Jakarta, namun juga menyebar ke daerah sekitarnya. Banyak rumah-rumah yang hancur, memaksa penghuninya untuk mengungsi karena kehilangan tempat tinggal dan barang-barang berharga. Koran pada saat itu melaporkan berbagai kerusuhan yang terjadi di masyarakat.

Pada waktu itu, Jakarta yang dikenal hanya sebagai pusat perdagangan VOC dan tidak memiliki gedung-gedung tinggi, menjadikan kerusakan semakin parah. Banyak bangunan yang terbuat dari kayu dan struktur sederhana membuat kota ini rampuh terhadap guncangan hebat.

Beberapa hari usai bencana, gejala gempa tercatat sampai di kawasan Jawa Barat dan ke berbagai daerah lainnya. Kekuatan guncangan yang dirasakan sangat bervariasi, dengan yang paling parah terjadi di Banten dan Cirebon. Hal ini semakin menegaskan betapa luasnya dampak dari kejadian tersebut.

Berdasarkan kajian dari Wichmann, banyak pihak mulai bertanya mengenai kekuatan sesungguhnya dari gempa 1780 ini. Riset dari beberapa universitas kemudian mampu merangkum skenario yang terjadi berdasarkan catatan sejarah dan pengamatan modern mengenai sistem patahan yang ada di wilayah Jakarta.

Penelitian Terkini Mengenai Sejarah Gempa di Jakarta Riset yang dipublikasikan baru-baru ini berjudul "Implications for Fault Locking South of Jakarta from an Investigation of Seismic Activity along the Baribis Fault" menunjukkan keterkaitan erat antara gempa Jakarta dan aktivitas Sesar Baribis. Ini merupakan salah satu patahan utama yang melintasi jalur dari barat hingga timur Jakarta.

Penelitian ini mencatat bahwa Sesar Baribis telah menjadi musuh pahlawan bagi Jakarta di masa lalu, dengan gempa yang merusak tercatat terjadi pada tahun 1699, 1780, dan 1834. Hingga saat ini, sekuel dari kegiatan seismik masih dapat dirasakan.

Sesar Baribis sendiri memanjang dari Purwakarta hingga Rangkasbitung, dan pada jalur tertentu, bisa mengakibatkan guncangan yang kuat di wilayah Jakarta. Dengan metode penilaian yang lebih modern, para peneliti berhasil memperkirakan magnitudo gempa 1780 berada di kisaran 7-8, dengan intensitas maksimum mencapai skala VIII MMI.

Meski informasi mengenai peristiwa tersebut masih terbatas, beberapa pengamatan lapangan menunjukkan bahwa guncangan bisa dikategorikan merusak. Penelitian-pelitian ini juga mengungkap bahwa suara gemuruh yang terdeteksi penduduk saat itu merupakan indikasi bahwa gempa tersebut dangkal, menjelaskan bahwa dampaknya sangat terasa di permukaan.

Dari estimasi yang dilakukan, sekitar 34 ribu jiwa diperkirakan hilang akibat bencana tersebut. Angka yang tragis ini membuatnya dikenal sebagai salah satu gempa terbesar dalam sejarah Jawa. Meskipun badai sudah berlalu, dampak psikis dan sosial dari peristiwa ini masih nampak hingga saat ini, menggugah kesadaran penduduk untuk lebih fokus pada mitigasi bencana.

Refleksi Sejarah dan Pembelajaran dari Gempa 1780 Pentingnya memahami sejarah bencana seperti yang terjadi pada tahun 1780 tidak hanya menjelaskan apa yang telah hilang. Pemahaman ini menawarkan pelajaran berharga untuk langkah-langkah mitigasi di masa kini, yang dapat membantu mengurangi risiko dan dampak bencana serupa di masa mendatang.

Gempa dan letusan gunung api adalah peringatan bagi kita semua, bukan hanya untuk memperhatikan akan kekuatan alam, tetapi juga untuk memperkuat kesiapan dan kesigapan kita menghadapi calon bencana. Langkah-langkah penyelamatan dan edukasi masyarakat menjadi hal prioritas yang tidak boleh diremehkan.

Melalui berbagai pendekatan, baik itu penelitian ilmiah, simulasi, hingga persiapan logistik, membangun kesadaran pada semua stakeholder adalah langkah yang tak terelakkan. Hanya dengan kolaborasi yang harmonis, kita bisa berharap untuk lebih siap dalam menghadapi bencana di masa depan.

Jelaslah bahwa meskipun bangsa Indonesia telah melalui berbagai pengalaman pahit, dengan belajar dari peristiwa seperti gempa Jakarta pada tahun 1780, kita bisa membangun masyarakat yang lebih tangguh di masa mendatang.