Menlu RI Jadi Sorotan Internasional Disebut Kambing

K.H. Agus Salim adalah sosok yang tidak hanya dikenang sebagai diplomat ulung, tetapi juga sebagai teladan dalam kesederhanaan dan integritas. Dia menjabat sebagai Menteri Luar Negeri Indonesia pada tahun 1947 hingga 1948, berperan penting dalam perjuangan diplomasi negara ini di arena internasional setelah proklamasi kemerdekaan.

Selama masa jabatannya, Agus Salim berkeliling dunia untuk memperjuangkan pengakuan kedaulatan Indonesia. Melalui kepiawaian dalam berbahasa serta kemampuan berdiplomasi, dirinya menjadi sosok yang dihormati oleh banyak tokoh internasional.

Kepiawaian Agus dalam menjaga hubungan diplomatik ini tak lepas dari nilai-nilai yang dia anut dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam hal kesederhanaan. Di era ketika banyak diplomat tampil glamor, Agus memilih untuk tetap rendah hati dan apa adanya.

Kesederhanaan yang Mencolok di Tengah Glamour Diplomasi Agus Salim dikenal tidak pernah berusaha untuk tampil mewah. Dalam banyak kesempatan resmi, ia sering terlihat mengenakan jas yang sudah kumal dan topi yang bukan barang baru. Ini mencerminkan komitmennya untuk hidup sederhana dan jauh dari materialisme.

Bukan karena tidak mampu, namun Agus menganggap gaya hidup sederhana sebagai pilihan. Ia hidup berpindah-pindah dan kadang menumpang di rumah sederhana, tanpa memiliki rumah pribadi selama masa jabatannya.

Hal ini menarik perhatian banyak pihak di luar Indonesia, termasuk Perdana Menteri Belanda Willem Schermerhorn. Dalam catatan harian, Schermerhorn mengungkapkan kekagumannya atas kesederhanaan Agus Salim yang penuh integritas.

Pandangan Internasional terhadap Agus Salim Dalam catatan harian yang terkenal, Willem Schermerhorn menyebut Agus Salim sebagai “orang tua yang sangat pintar” yang ahli dalam banyak bahasa. Dia juga menyoroti bagaimana Agus meskipun dikenali sebagai seorang jenius, tetap hidup dalam kemiskinan.

Pujian dan kritik dari luar negeri tidak mengubah pandangan Agus terhadap prinsip hidupnya. Dia tetap setia pada nilai-nilai yang dia percayai, meskipun hidup dalam keterbatasan.

Seorang wartawan Belanda, Jef Last, bahkan menjulukinya “kambing” setelah menyaksikan sikap jenakanya saat berpidato di hadapan kaum muda. Ejekan itu menjadi salah satu momen ikonik dalam sejarah karier politik Agus Salim.

Kecerdasan Dalam Menghadapi Ejekan Ketika menghadapi ejekan yang menyamakan dirinya dengan suara kambing, Agus Salim memilih untuk menjawab dengan santai dan jenaka. Dia menyatakan bahwa dia akan berbicara dalam "bahasa kambing" untuk meredakan ketegangan dan mengajak audiens untuk berpikir bersungguh-sungguh.

Sikapnya yang cerdas dalam menghadapi ejekan ini membuatnya semakin dihormati. Dalam konteks ini, "bahasa kambing" bukanlah istilah yang diartikan secara harfiah, tetapi lebih pada kemampuan Agus dalam memanfaatkan momen untuk menunjukkan kecerdasan dan keluwesan.

Hal ini tidak hanya menunjukkan kebijaksanaan Agus Salim, tetapi juga menciptakan kesan mendalam di hati para pendengarnya. Momen tersebut menjadi salah satu cerita populer yang diceritakan kembali oleh generasi-generasi berikutnya.

Warisan yang Tak Terhapuskan dalam Sejarah Indonesia Kiprah Agus Salim sebagai Menteri Luar Negeri berakhir pada tahun 1948, tetapi dedikasinya dalam dunia diplomasi tidak surut. Dia terus berjuang untuk Indonesia hingga akhir hayatnya pada 4 November 1954.

Agus Salim dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, menjadi salah satu tokoh pahlawan nasional yang dihormati. Meskipun status pahlawannya baru terbentuk pada tahun 1967, pengaruh dan warisan baiknya tetap hidup dalam ingatan masyarakat.

Kesederhanaan, integritas, dan kecerdasan Agus Salim merupakan teladan yang telah menginspirasi banyak orang. Dia tidak hanya dikenang sebagai seorang diplomat, tetapi juga sebagai sosok moral yang mengajarkan pentingnya nilai-nilai kemanusiaan dalam menyelesaikan permasalahan bangsa.